Sebanyak 22 provinsi sudah menaikan upah buruh. Industri padat karya dan UKM terkena imbasnya. Ada ancaman PHK dan pemindahan pabrik ke lokasi lain. Bila hal ini terjadi, ekspor menurun dan impor makin merajalela. Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dan pemilik usaha padat karya menjerit mendapati putusan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengenai besaran upah minimum Provinsi DKI Jakarta 2013. Upah minimum sebesar Rp 2,2 juta per bulan yang naik hampir 44% itu dinilai terlalu besar. Jeritan mereka itulah yang kemudian menjadi salah satu topik pembahasan dalam rapat kabinet di kantor presiden, Jakarta, Selasa lalu.
Hasil rapat itu memberi angin segar bagi pelaku UKM. "Usaha kecil menengah tidak diwajibkan menerapkan UMP," kata Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat, usai mengikuti rapat. Pelaku usaha yang lebih besar yang tidak mampu menerapkan UMP dipersilakan mengajukan penangguhan kepada gubernur. Penangguhan pelaksanaan UMP itu, kata Hidayat, difokuskan pada tiga sektor industri padat karya, yaitu garmen, sepatu, dan tekstil. "Setelah diteliti bahwa labour intensive industry profit tidak besar, karena bila terjadi sesuatu, karyawannya terkena," Hidayat menambahkan.
Adapun perusahaan di luar tiga sektor itu, mayoritas tak khawatir dengan besaran UMP. Mereka lebih mengkhawatirkan aksi sweeping yang memaksa pekerja ikut unjuk rasa atau mogok kerja. Bagi pengusaha yang akan mengajukan penangguhan, pemerintah meminta mereka membicarakannya secara internal dengan karyawan atau bipartit. Ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi di lingkungan perusahaan itu sehingga tidak menimbulkan gejolak di dalam.
Pemerintah meminta agar 14 hari sejak pengajuan sudah bisa diputuskan. Hingga akhir pekan lalu, dari 33 gubernur di Indonesia, sudah ada 22 gubernur yang menetapkan UMP untuk tahun depan. Ini berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Menakertrans Muhaimin Iskandar meminta 11 gubernur lainnya mempercepat pembahasan dan penetapan UMP 2013 di daerah masing-masing. "Apabila diperlukan, kami akan terjunkan tim pendamping ke provinsi-provinsi yang belum menetapkan UMP," katanya.
Besaran UMP di berbagai provinsi itu mengalami kenaikan. Persentasenya bervariasi, dari yang terendah 8,75% hingga yang paling tinggi 43,87%. Kenaikan terendah terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,305 juta. Adapun yang paling tinggi adalah DKI Jakarta, dari Rp 1.529.150 menjadi Rp 2,2 juta (lihat: Upah Minimum Provinsi 2013). Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menekan Surat Keputusan (SK) Nomor 189 Tahun 2012 tentang Besaran UMP DKI 2013 itu pada 20 November lalu. Jokowi meneken keputusan itu di tengah belum adanya titik temu angka UMP antara pengusaha dan buruh. Buruh mengusung angka Rp 2,7 juta, pengusaha Rp 1,978 juta, dan pemerintah Rp 2,176 juta. Angka itu muncul dalam sidang di Dewan Pengupahan Jakarta yang dihadiri tripartit, yaitu buruh-pengusaha-pemerintah.
Kalangan pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memilih walkout dalam sidang di Dewan Pengupahan. Mereka menilai Dewan Pengupahan tak bersidang sebagaimana seharusnya, yaitu menampung aspirasi semua unsur dalam tripartit dan lebih pro-buruh. Bagi pengusaha, keputusan Jokowi itu dianggap sebagai kezaliman. Adapun bagi buruh, putusan Jokowi itu adalah jalan tengah yang manis. "Saya sudah minta semuanya bisa menerima. Kalau berbicara senang tidak senang, puas tidak puas, orang hidup enggak ada habisnya," kata Jokowi. Meskipun rapat kabinet telah memutuskan bahwa
UKM tak perlu membayar upah minimum seperti yang diputuskan gubernur, dalam putusannya Jokowi tak menyebutkan jenis dan besaran usaha yang boleh tidak mengikuti besaran UMP DKI 2013 itu. Dalam SK-nya, Gubernur DKI itu hanya menyebutkan bahwa perusahaan yang tidak mampu membayar UMP sesuai dengan SK bisa mengajukan penangguhan kepada gubernur melalui Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta.
Ketua Bidang Organisasi, Pembinaan, dan Humas Apindo, Anton J. Supit, menyatakan bahwa penetapan UMP DKI itu menjadi pukulan telak bagi pengusaha, terutama yang bergerak di industri dengan modal maupun ongkos produksi pas-pasan. Yaitu pengusaha yang bergerak di sektor industri padat karya dan UKM. Mereka ini menyerap pekerja lebih banyak dibandingkan dengan industri padat modal, seperti perbankan, perdagangan, otomotif, dan retail.
Para pengusaha dengan modal menengah ke bawah, kata Anton, akan sesak napas jika harus menaikkan UMP pekerjanya. "Bukan karena pelit dan mencari untung semata, melainkan banyak persoalan lanjutan yang akan dihadapi, baik pengusahanya maupun pekerjanya," kata Anton kepada Fitri Kumalasari dari GATRA.
Bagi industri padat karya dan UKM, persentase ongkos tenaga kerja mencapai 25%. "Itu di luar supervisor," katanya. Adapun bahan baku sekitar 60%, overhead (gaji karyawan menengah hingga direktur, listrik, logistik, pajak, dan lain-lain) 10%. "Sisanya yang 5% menjadi cadangan. Jika tidak digunakan, masuk keuntungan," ujar Anton, yang juga Presiden Direktur PT Sierad Produce ini. Anton menghitung, dengan UMP DKI yang Rp 2,2 juta, ongkos buruh naik dari 25% menjadi 32%. Ditambah dengan bahan baku 60%, menjadi 92%. "Kalau overhead 10%, kan nggak bisa dikurangi, biaya produksi jadi 102%, sehingga tak ada cadangan lain untuk keuntungan," katanya.
Industri padat karya, terutama yang berorientasi ekspor, menurut Anton, tak bisa begitu saja meminta kenaikan harga jual kepada pembeli. "Karena ciri komoditas kita global price competition," tuturnya. Kalau meminta kenaikan harga, pembeli bisa mencari barang yang lebih murah seperti ke Cina atau Vietnam. Adapun bagi industri padat karya yang berorientasi pasar domestik, jalan keluarnya adalah menurunkan kualitas barang agar harganya tetap terjangkau.
Di luar biaya produksi resmi itu, pengusaha masih dihantui beban lain, yaitu pungutan liar (pungli). Pungutan ilegal ini mulai ada sejak barang keluar pabrik hingga masuk pelabuhan. "Tapi pungli di jalan itu tak besar, sampai persenan dari biaya produksi," ujar Anton. "Mungkin masih ada pungli gede di sektor yang berhubungan dengan pemerintah," Anton menambahkan tanpa mau merinci jenis pungli yang dimaksudnya.
Sejumlah industri padat karya yang meradang gara-gara UMP DKI 2013 pun mendatangi kantor Apindo di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu. Mereka adalah 60 perusahaan dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing dan Marunda, Jakarta Utara. Dalam dialog dengan Apindo, mereka menyampaikan keberatan terhadap UMP dan memaparkan adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. "Pengusaha yang tidak mampu bayar akan tutup dengan cara membayar pesangon atau kabur karena tak mampu bayar pesangon itu," kata Sarman Simanjorang, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI. Penutupan pabrik ini akan membuat pasokan produksi berkurang dan ekspor menurun. Di sisi lain, produksi untuk pasar dalam negeri juga berkurang, yang membuat impor meningkat.
Ekses lain penerapan UMK DKI sebesar Rp 2,2 juta, menurut Sarman, adalah relokasi pabrik ke daerah yang memiliki UMP lebih rendah. Investor yang lari dari sebuah wilayah ke wilayah lain itu akan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat di sekitar pabrik yang direlokasi. Khususnya bagi pemilik kontrakan karyawan, pedagang, pemilik warung makan, dan tentu saja tenaga kerja dari wilayah sekitar pabrik yang akan menganggur.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sjukur Sarto, menyatakan bahwa kenaikan UMP DKI 2013 yang disebutkan tinggi, yaitu sebesar 43,85% dari UMP 2012, secara riil sebenarnya tidak sebesar itu. Sjukur menyajikan data bahwa sebelumnya, besaran UMP selalu di bawah kebutuhan hidup layak (KHL). Misalnya, pada 2012, dengan KHL Rp 1,89 juta, Pemerintah DKI menetapkan UMP Rp 1.529.150 yang jauh di bawah KHL. Sehingga, menurut Sjukur, kalau dihitung hanya dari 2012 ke 2013, UMP DKI seolah-olah tinggi sekali. "Kalau dihitung dari tahun ke tahun, riilnya hanya naik 15%. Tapi, karena dihitung tidak riil, angkanya 43% itu," katanya kepada Mira Febri Mellya dari GATRA.
Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, upah buruh di Indonesia, kata Sjukur, tergolong rendah. "Kita hanya bersaing dengan Laos," katanya. Upah minimum buruh di Malaysia, misalnya, tiga kali lipat dari Indonesia. Meskipun begitu, produk Malaysia mampu bersaing di pasar ekspor. Selain itu, investor asing juga tak canggung masuk ke Malaysia. Ini terjadi karena upah buruh bukan satu-satunya daya tarik investasi. Daya tarik lainnya adalah ketersediaan infrastruktur, keamanan, kepastian hukum, dan tidak adanya pungli.
Adanya kenaikan UMP DKI tahun depan, menurut Sjukur, membuat sebagian besar buruh di DKI puas. Meskipun, di daerah lain masih banyak buruh yang menerima UMP jauh di bawah KHL. "Misalnya di Kediri, Jawa Timur, UMP-nya hanya sekitar Rp 700.000. Di Lampung juga masih mengejar KHL," katanya. Adapun secara umum, UMP di Jawa Timur dan Jawa Tengah berada di sekitar KHL.
Bagi pekerja, kenaikan UMP itu memang menguntungkan. Namun, di sisi lain, sebenarnya ada efek samping yang juga perlu diperhatikan. Ia mengambil contoh UMP Tangerang, Banten, yang hampir sama dengan DKI. "Itu ada kesepakatan awal mereka bahwa UMP Tangerang lebih rendah Rp 3.000," tuturnya.
Namun hal itu menimbulkan ketimpangan dengan UMP di wilayah lain di Banten, seperti Serang yang Rp 1,6 juta. "Ngerinya, nanti terjadi migrasi pekerja dari Serang ke Tangerang atau migrasi konsumen perusahaan Tengerang ke Serang," ia menambahkan. Apabila ada perpindahan pabrik dari wilayah dengan UMP tinggi ke UMP lebih rendah, kata Sjukur, akan timbul pengangguran di wilayah UMP tinggi. "Kan, nggak mungkin semua buruh ikut pindah ke daerah pabrik itu juga. Ini yang kontradiktif dari kenaikan UMP," katanya.
Dalam penetapan UMP, kata Sjukur, pemerintah sebaiknya juga mempertimbangan ukuran perusahaan, yaitu besar, menengah, dan kecil. "Karena hubungan kerja mereka juga berbeda," ujarnya. Di perusahaan besar, sifatnya formal, sedangkan perusahaan kecil bersifat kekeluargaan. Selain itu, dari sisi gaya hidup dan beban psikologis, pekerja di perusahaan besar dan kecil juga berbeda.
(Gatra)
BATIK KAOS TENUN IKAT JERSEY