Daya Saing Rendah Sebabkan Konflik Pengusaha-Buruh

Etalase Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kediri
Pengamat Ekonomi Econit, Hendri Saparini, menilai konflik antara buruh dan pengusaha bukan hanya menyangkut kisaran upah yang dituntut para buruh. Namun, lebih pada masalah rendahnya daya saing industri.

Menurut dia, pemerintah berkepentingan mengundang investasi. Namun, investor merasa iklim investasi kurang mendukung karena rendahnya daya saing. Hendri memahami jika buruh menuntut dinaikan upah minimum sebesar Rp2 juta yang kemudian tidak direspons pengusaha. "Karena daya saingnya di Indonesia luar biasa cukup berat," katanya saat diskusi interaktif bertajuk: Gejolak Hubungan Pengusaha-Buruh di Pressroom Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Jakarta, Jumat (9/11).

Karenanya, Hendri menilai, dibutuhkan terobosan dari pemerintah dalam meningkatkan daya saing industri dan meningkatkan upah buruh. Peningkatan daya saing, tidak bisa hanya diserahkan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Namun, lintas kementerian.

Hendri juga mengingatkan pemerintah berpihak kepada pekerja yang diwujudkan melalui kebijakan. Sementara terkait keluhan pengusaha, Hendri menilai, biaya operasional membengkak bukan karena biaya upah buruh. Namun, ada komponen biaya lain yang bisa ditekan perusahaan.

Di China, kata Hendri, ada lima komponen biaya operasional perusahaan seperti modal, energi, dan transportasi. Di Indonesia, Hendri menilai, komponen energi ternyata lebih banyak diekspor ke luar energi ketimbang mengutamakan kebutuhan industri dalam negeri. Sedangkan transportasi tidak dibangun oleh pemerintah. Sementara pasar dalam negeri didominasi barang impor. "Kebutuhan paling besar bagi buruh adalah untuk kebutuhan pangan, makanan, termasuk biaya kesehatan," kata Hendri.

Di tempat yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal menyesalkan jika pemerintah sebagai fasilitator dan regulator, tidak hadir ketika buruh dieksploitasi melalui sistem kerja kontrak (outsourcing). "Buruh tidak bisa menatap masa depan karena upah yang diterima hanya dihabiskan untuk transportasi, makan minum sehari-hari. Dengan upah yang rendah, bagaimana buruh bicara masa depan," kata Said Iqbal.

Dia mengingatkan pengusaha agar menghentikkan eksploitasi tenaga para buruh. Sebab, buruh selama ini telah bekerja puluhan tahun, tetapi tetap saja miskin. "Buruh punya masa depan, tapi dibiarkan saja. Kalau orang miskin tidak bekerja itu wajar," kata Said Iqbal.

Ketua Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hasanuddin Rahman membantah kalau pengusaha dianggap mengeksploitasi buruh. Yang menjadi masalah di Indonesia, menurut dia, tidak adanya kepastian hukum.

Menurut dia, sudah ada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, UU Ketenagakerjaan itu tidak dijalankan. "Mestinya pemerintah tegas menegakkan hukum. Kalau ada serikat pekerja tidak setuju dengan outsourcing mestinya mengubah UU-nya. UU Ketenagakerjaan mengatur outsourcing," katanya.

Menanggapi demo buruh yang menuntut penghapusan pekerja kontrak, menurut Hasanuddin, sudah ada undang-undang yang menjadi acuan bersama. Dia setuju kalau memang upah buruh dinaikkan. "Kalau memang upah buruh dinaikkan kita setuju, tapi mari kita survei. Jangan memakai aksi-aksi yang kami rasakan sudah keluar dari jalur," kata Hasanuddin.

Menurut dia, ketentuan penentuan upah minimum berdasarkan mekanisme yang ditetapkan Dewan Pengupahan Nasional, yang selanjutnya ditetapkan oleh menteri. Pada awalnya, kata dia, acuan untuk menentukan upah menimum adalah kebutuhan titik minimum. Kemudian berkembang menjadi kebutuhan hidup minimum.

Namun, Hasanuddin menjelaskan, meski telah diterbitkan Keputusan Menakertrans Nomor 17 tahun 2005 tentang Kehidupan Hidup Layak (KHL), para buruh belum puas. Awalnya, kebutuhan hidup layak terdiri dari 46 komponen. Kemudian serikat pekerja menginginkan ada perubahan sehingga Dewan Pengupahan Nasional terdiri dari tiga unsur, pengusaha, serikat pekerja/buruh dan pemerintah melakukan survei.

Dari hasil survei ada tambahan empat komponen sehingga menjadi 50 komponen. "Kemudian serikat buruh/serikat pekerja belum puas dan menambah 10 komponen menjadi 60 komponen untuk kebutuhan hidup layak. Pengusaha tentu keberatan. Siapa yang menanggung karena daya perusahaan untuk memberi upah berbeda-beda. Tidak semua perusahaan karena ada juga usaha kecil menengan (UKM) merasa terpukul," kata Hasanuddin.

Ketua II Bidang Perbankan, Investasi dan Pasar Modal HIPMI, Alexander Yahya berpandangan, perusahaan merasa keberatan dinaikkan upah buruh. Dia juga menilai, demo buruh yang terus berlangsung akan menganggu ekonomi secara nasional. "Jika industri tidak beroperasi tentu akan terganggu," kata Alexander. Dia berharap negosiasi antara pengusaha dan buruh tidak berlarut-larut.

Apabila berlarut-larut dan tidak ada penyelesaiannya akan menganggu iklim investasi dan iklim usaha. Alexander mengakui upah minimum provinsi bukan upah standar untuk hidup layak bagi buruh. Meski begitu, dia mengusulkan, penentuan UMP ditujukan kepada perusahaan yang mampu, bukan untuk UKM.

(jurnas.com)
97Kediri 100 Kediri Kediri Kediri 9673Prediksi Bola. Kuliner