Masuknya budaya ke wilayah industri didorong oleh semangat pragmatis yang menghendaki budaya menjadi mesin penghasil uang. Kegiatan budaya tidak boleh lagi disubsidi tetapi kegiatan budaya justru diarahkan sebagai kapital yang dapat mendatangkan keuntungan finansial.
Sejak tahun 1990-an, industri budaya menjadi sektor industri alternatif yang memberikan kontribusi besar dalam pembangunan. Industri yang sebelumnya hanya berbasiskan manufaktur kini hadir dalam bentuk lain yang menjadikan budaya dan kreativitas manusia sebagai modal utamanya.
Ketika budaya telah terperangkap dalam iklim industri, budaya direproduksi untuk tujuan komersial sehingga budaya tinggi (high culture) yang dipandang suci, sakral, luhur dan agung menjelma ke dalam kemasan baru yang lebih menggoda untuk memuaskan selera publik dan menguntungkan pemilik modal.
Budaya tinggi yang bersifat adi luhung bergeser ke arah budaya popular yang berbasis pada selera publik. Budaya popular dipandang lebih realistis dan pragmatis dalam kehidupan modern yang cenderung materialis. Praktik industri budaya diarahkan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi budaya.
Industrialisasi budaya terus berkembang pesat dengan dukungan teknologi. Teknologi dengan kehebatan rekayasanya terus memaksa budaya yang ada untuk direproduksi sesuai selera publik. Agar budaya yang diproduksi tetap menggoda hati publik kemasan budaya itu dibuat semenarik mungkin dengan mengandalkan kreativitas sebagai komoditas.
Artinya, kreativitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi kreativitas dikombinasikan dengan nilai ekonomi yang terkandung dalam barang dan jasa yang telah direpoduksi tersebut.
Kebudayaan sengaja diperangkap dalam penjara industri yang diberi lebel industri kreatif. Dalam industri kreatif, pandangan orang terhadap budaya mengalami perubahan, yakni dari yang sebelumnya tidak untuk diperdagangkan kemudian menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi. Proses ini disebut juga dengan komodifikasi. Nilai budaya tidak lagi diukur dengan rasa yang bersifat kualitatif, tetapi diukur dengan nilai ekonomi dalam bentuk harga yang bersifat kuantitatif.
Sebenarnya komoditas budaya telah terjadi pada sejak zaman kuno. Benda-benda yang dianggap sangat sakral dan memiliki nilai simbolik dapat juga di perdagangkan dengan objek lain atau untuk mendapatkan uang. Pada zaman kuno, kreasi budaya bukan bermotif ekonomi meskipun mengandung dimensi ekonomi.
Tetapi dalam lingkungan industri budaya, budaya sengaja dikreasikan untuk kepentingan ekonomi. Budaya tidak lagi dipandang secara substantif tetapi budaya direproduksi secara manipulatif agar menghasilkan barang atau jasa yang bisa menghasilkan uang. Budaya tidak lagi dipandang secara humanis tetapi ia didekati dengan prinsip-prinsip ekonomi.
Dalam industri budaya manusia lebih pandang sebagai homo economicus atau makhluk ekonomi dari pada sebagai homo humanus atau makhluk berkebudayaan. Dengan demikian, secara kritis dapat dijelaskan industri budaya dapat mendorong dehumanisasi manusia karena terlalu mengeksploitasi manusia dan kebudayaan ke dalam wilayah ekonomi yang bersiapan materialis.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara budaya pada ranah industri kreatif kita harus kritis memandang hukum-hukum ekonomi yang bermain agar hakekat manusia sebagai homo humanus tetap terjaga dan kita tidak terlalu terperosok ke dalam jeratan komodifikasi budaya.
Terjebaknya budaya dalam perangkat industri kreatif adalah kenyataan yang harus diterima secara arif. Kita tidak kuasa menolaknya. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, industri telah mengatur budaya, termasuk budaya daerah dan tradisi yang dilahirkan oleh etnis tertentu. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai budaya atau tradisi direproduksi hanya atas dasar motif ekonomi.
Reproduksi budaya dalam industri kreatif jangan sampai menghilangkan hakekat humanistis dari budaya seperti keluhuran, kemulian, moral, etika dan nilai-nilai lainnya. Kita harus bijaksana memandang bahwa kita adalah homo humanus yang bermartabat sekaligus homo economicus yang juga memerlukan aktivitas ekonomi. Dengan demikian, industri kreatif seharusnya ditempatkan diantara homo humanus dan homo economicus agar manusia dapat bertumpu pada kemanusiaan dan bergerak kreatif untuk memenuhi keperluan hidupnya.
(Oleh: Junaidi - Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak) 97Kediri 100 Kediri Kediri Kediri 9673Prediksi Bola. Kuliner