Hipogonadisme merupakan keadaan dimana fungsi testis menjadi menurun, hal ini disebabkan gangguan interaksi hormon seperti androgen dan testosteron. Gangguan ini berpengaruh terhadap masa perkembangan dan pertumbuhan seseorang.
Kepala Divisi Metabolik Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM Em Yunir mengatakan, penurunan kadar hormon testosteron pada laki-laki dapat meningkatkan risiko disfungsi ereksi, massa lemak tubuh, menurunnya libido, osteoporosis, hingga pertumbuhan testis yang tidak normal, atau bentuknya hampir menyerupai telur puyuh.
“Ukuran testis yang tidak normal secara langsung berpengaruh terhadap produksi hormon testosteron dan proses spermatogenesis (pembentukan sperma). Bentuk testis yang terlalu kecil, maka produksi sperma biasanya juga lebih rendah baik dalam hal kuantitas maupun kualitasnya,” kata Yunir.
Bila mencermati faktor penyebabnya, dokter yang juga anggota dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) ini juga menjelaskan, hipogonadisme disebabkan sifat keturunan atau warisan yang efeknya terjadi di kemudian hari, seperti cedera atau infeksi yang terjadi pada testis, pengaruh umur, malnutrisi, obesitas, life style serta memiliki riwayat penyakit kronis yang penyembuhannya mesti melakukan kemoterapi.
“Hipogonadisme juga bisa disebabkan kelainan bawaan pada kromosom seks, X dan Y. Biasanya laki-laki hanya mempunyai satu kromosom X dan Y, sedangkan pada hipogonadisme, laki-laki memiliki dua atau lebih kromosom X dan satu kromosom Y,” ungkap Yunir.
Kelainan Hipogonadisme sebenarnya dibagi menjadi dua tipe, yakni hipogonadisme primer dan sekunder. Pada hipogonadisme primer dimana kelainan terletak pada testis sehingga akan dijumpai kadar testosteron yang rendah, disertai hormon gonadotropik.
Pada tipe tersebut, hipogonadisme disebabkan beberapa penyakit yang diduga sebagai pemicunya, seperti infeksi pada testis atau trauma karena kecelakaan pada testisnya, dikebiri serta komplikasi penyakit gondongan.
Sedangkan pada hipogonadisme sekunder, testis tumbuh normal tetapi berfungsi secara tidak normal karena masalah hipofisis atau hipotalamus (kerusakan saraf otak). Ada beberapa penyakit yang menjadi pemicunya, adalah Sindrom Kallmann, obesitas, HIV/AIDS dan penuaan.
Di samping menurunkan libido dan disfungsi ereksi (DE), hipogonadisme juga dapat menyebabkan infertilisasi (mandul) akibat gangguan produksi sperma dalam testis. Bahkan osteoporosis yang lebih sering dialami wanita, juga bisa dialami oleh kaum pria,” urai Yunir.
Sebaliknya, menurut Yunir, hipogonadisme juga bisa terjadi pada wanita, hanya saja karena jumlah hormon testosteron yang lebih sedikit dibanding hormon estrogen, wanita memiliki risiko yang rendah terhadap penyakit tersebut.
Bahkan, lebih dari itu, Yunir juga menyatakan, selain gangguan secara fisik, hipogonadisme juga menyebabkan masalah psikologis dan hubungan, sehingga perlu mempelajari disfungsi ereksi atau infertilitas.
Untuk melakukan pemeriksaan terhadap risiko gangguan ini, Yunir menyarankan untuk sesegera mungkin memeriksakan diri ke dokter dengan melakukan pemeriksaan hormon testosteron.
“Biasanya akan dilakukan pengambilan serum pada testis yang harus dilakukan pada pukul 7 pagi - 11 siang. Dimana pada waktu tersebut kadar hormon testosteron biasanya aktif diproduksi,” ungkapnya.
Kadar testosteron total di atas 350 miligram per desiliter (mg/dl), merupakan batas di mana substitusi testosteron tidak diperlukan, kadar testosteron total di bawah 230 mg/dl merupakan batas untuk memberikan substitusi testosteron.
(RMOL)
Info Selengkapnya...