Waspada, Bila Bentuk Testis Anda Seperti Telur Puyuh

Toko dan Wisata Kuliner Kediri
Bagi kaum adam, waspadalah jika pada usia 15-17 tahun, tetapi secara fisik belum terlihat ciri-ciri menuju dewasa seperti kumis atau rambut halus lain di sekitar tubuh, bahkan wajah yang masih terlihat imut (baby face), maka ada ke­mungkinan Anda meng­ala­mi gangguan hormon tes­tos­teron atau biasa disebut hipogonadisme.

Hipogonadisme merupakan keadaan dimana fungsi testis menjadi menurun, hal ini dise­babkan gangguan interaksi hor­mon seperti androgen dan tes­tos­teron. Gangguan ini berpengaruh ter­hadap masa perkembangan dan pertumbuhan seseorang.

Kepala Divisi Metabolik En­do­kri­nologi Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM Em Yunir mengatakan, penurunan kadar hormon testosteron pada laki-laki dapat meningkatkan risiko dis­fungsi ereksi, massa lemak tubuh, menurunnya libido, osteoporosis, hingga pertumbuhan testis yang tidak normal, atau bentuknya ham­pir menyerupai telur puyuh.

“Ukuran testis yang tidak normal secara langsung berpe­ngaruh terhadap produksi hor­mon testosteron dan proses sper­matogenesis (pembentukan sper­ma). Bentuk testis yang terlalu kecil, maka produksi sperma bia­sanya juga lebih rendah baik dalam hal kuantitas maupun kua­litasnya,” kata Yunir.

Bila mencermati faktor penye­babnya, dokter yang juga anggota dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) ini juga menjelaskan, hipogonadisme disebabkan sifat keturunan atau warisan yang efeknya terjadi di kemudian hari, seperti cedera atau infeksi yang terjadi pada testis, pengaruh umur, malnutrisi, obesitas, life style serta memiliki riwayat penyakit kronis yang penyembuhannya mesti me­la­kukan kemoterapi.

“Hipogonadisme juga bisa disebabkan kelainan bawaan pada kromosom seks, X dan Y. Biasanya laki-laki hanya mem­punyai satu kromosom X dan Y, sedangkan pada hipogonadisme, laki-laki memiliki dua atau lebih kromosom X dan satu kromosom Y,” ungkap Yunir.

Kelainan Hipogonadisme se­be­narnya dibagi menjadi dua tipe, yakni hipogonadisme pri­mer dan sekunder. Pada hipo­gonadisme primer dimana ke­lainan terletak pada testis se­hingga akan di­jum­pai kadar testosteron yang ren­dah, disertai hormon gonadotropik.

Pada tipe tersebut, hipogona­disme disebabkan beberapa pe­nyakit yang diduga sebagai pe­micunya, seperti infeksi pada testis atau trauma karena kece­la­kaan pada testisnya, dikebiri serta komplikasi penyakit gon­dongan.

Sedangkan pada hipogona­disme sekunder, testis tumbuh normal tetapi berfungsi secara tidak normal karena masalah hipofisis atau hipotalamus (keru­sakan saraf otak). Ada beberapa pe­nya­kit yang menjadi pemi­cunya, adalah Sindrom Kallmann, obe­sitas, HIV/AIDS dan penuaan.

Di samping menurunkan libido dan disfungsi ereksi (DE), hipo­gonadisme juga dapat me­nye­babkan infertilisasi (mandul) akibat gangguan produksi sperma dalam testis. Bahkan osteoporosis yang lebih sering dialami wanita, juga bisa dialami oleh kaum pria,” urai Yunir.

Sebaliknya, menurut Yunir, hi­po­gonadisme juga bisa terjadi pada wanita, hanya saja karena jum­lah hormon testosteron yang lebih sedikit dibanding hormon estrogen, wanita memiliki risiko yang rendah terhadap penyakit tersebut.

Bahkan, lebih dari itu, Yunir juga menyatakan, selain gang­guan secara fisik, hipogonadisme juga menyebabkan masalah psi­kologis dan hubungan, sehingga perlu mempelajari disfungsi ereksi atau infertilitas.

Untuk melakukan pemeriksaan terhadap risiko gangguan ini, Yunir menyarankan untuk sese­gera mungkin memeriksakan diri ke dokter dengan melakukan pe­meriksaan hormon testosteron.

“Biasanya akan dilakukan pengambilan serum pada testis yang harus dilakukan pada pukul 7 pagi - 11 siang. Dimana pada waktu tersebut kadar hormon testosteron biasanya aktif dipro­duk­si,” ungkapnya.

Kadar testosteron total di atas 350 miligram per desiliter (mg/dl), merupakan batas di mana substitusi testosteron tidak di­perlukan, kadar testosteron total di bawah 230 mg/dl meru­pakan batas untuk memberikan subs­titusi testosteron.

(RMOL)
97Kediri 100 Kediri Kediri Kediri 9673Prediksi Bola. Kuliner